KEPASTIAN KONTRAK KERJA DOKTER DI PUSKESMAS : ANTARA WAKTU TUNGGU DAN LAMA WAKTU KONSULTASI DOKTER DENGAN PASIEN MISKIN DI PUSKESMAS PERKOTAAN DI DKI JAKARTA


Eko Sriyanto - KMPK IKM UGM 2014

25 Oktober 2015 EDITORIAL 2
Puskesmas sebagai institusi pemerintah telah menampilkan citra buruk dalam pelayanannya kepada pasien miskin. Hingga saat ini banyak kita dengar dan saksikan keluhan dari pasien tentang buruknya pelayanan di puskesmas, dari proses pendaftaran yang berbelit dan lama, waktu tunggu yang lamahttp://sulpaonline.com/read/2014/06/25/pasien-keluhkan-puskesmas-hom-hom/ http://www.kompasiana.com/ronnyhisage/pasien-puskesmas-homhom-jayawijaya-keluhkan-antrian-panjang-yang-harus-melantai_54f6e388a33311f7618b45be, konsultasi dokter yang terlalu sebentar, penjelasan penggunaan obat yang kurang, pelayanan yang diskriminatif, hingga masalah pembiayaan pelayanan kesehatannya https://fajardinihari.wordpress.com/2012/11/07/puskesmas-ooh-puskesmas-ironi-pelayanan-kesehatan-masyarakat/.
Upaya pelayanan kesehatan dari tingkat Puskemas harus bisa dilakukan laksana pelayanan hotel bintang lima http://ahok.org/berita/news/video-basuki-ingin-puskemas-berikan-pelayanan-maksimal/, demikian pidato Ahok pada pembukaan Rakerkesda DKI Jakarta tahun 2013. Dua tahun setelah pidato tersebut seperti kita dapat lihat sekarang perubahan fundamental terjadi pada pelayanan puskesmas di DKI Jakarta dengan mengadopsi prinsip pelayanan yang diberikan oleh hotel bagi tamunya. Puskesmas tidak lagi dibiarkan melaksanakan praktek yang diskriminatif bagi pasien khususnya pasien miskin.
Kepuasan pasien adalah ukuran keberhasilan pelayanan kesehatan (Leino-Kilpi & Vuorenheimo 1988; Newsome & Wright 1999)di puskesmas. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan primer adalah berpusat pada pasien (patient-centered), waktu yang dihabiskan dengan dokter, kesediaan dokter untuk mendengarkan keluhan pasien, dan harapan pada pengobatan yang diperoleh (R. Anderson et al. 2007; Marrakchi et al. 2009). Harapan yang tidak terpenuhi dalam beberapa penelitian sangat berhubungan dengan ketidakpuasan pasien pada pelayanan kesehatan(Zemencuk et al. 1999).
Antrian pelayanan yang lama dapat menurunkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan puskesmas(Newsome & Wright 1999). Dalam " Patient's Charter" telah ditetapkan standar bahwa pasien harus sudah dilayani klinik kesehatan dalam waktu 30 menit(Hart 1995).  Namun, waktu tunggu yang lama dalam penelitian lain dapat dimaklumi pasien jika tergantikan dengan pelayanan dokter yang baik dan waktu konsultasi yang cukup ( 5 menit atau lebih)(R. T. Anderson et al. 2007)
Jika kita telah mengetahui bahwa hal-hal diatas sebagai ukuran kepuasan pasien, lalu bagaimana jika petugas tidak perduli akan hal tersebut?. Kenyataannya kebanyakan petugas kesehatan tidak perduli akan kepuasan pasien, banyak studi telah meneliti harapan pasien untuk perawatan, dan telah sering menemukan bahwa harapan yang belum terpenuhi untuk perawatan berhubungan dengan kepuasan pasien lebih rendah(Peck et al. 2004). Mereka beranggapan telah bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang telah diberikan kepada mereka. Mereka berdalih yang penting telah bekerja sesuai tupoksi, bekerja sesuai standar dan tidak perduli apakah pasien akan merasa puas atau tidak, terlebih pasien miskin.
Pergeseran nilai tersebut terjadi dikarenakan lemahnya kontrak kerja dan pengawasannya(Soeters et al. 2011; Soeters et al. 2003; Khim & Annear 2013) dan diperparah kurangnya fasilitas yang dapat menunjang kerja (Jan et al. 2005)dokter di puskesmas. Oleh karena itu, dengan penguatan manajerial di puskesmas dengan dilaksanakannya pemilihan kepala puskesmas secara lelang jabatan yang terus disempurnakan dan diperjelasnya kontrak kerja http://ahok.org/berita/news/mekanisme-lelang-jabatan-diubah/serta diikuti dengan monitoring dan supervisi dilapangan secara rutin dan terstruktur pemerintah DKI Jakarta dapat meningkatkan upaya pelayanan puskesmas yang berpihak kepada pasian dengan tidak meninggalkan pemenuhan hak manajer, dokter dan petugas kesehatan lain di puskesmas dengan perhitungan tunjangan kinerja yang adil dan sesuai dengan beban kerjanya http://ahok.org/berita/news/reformasi-birokrasi-gagal-jakarta-harus-jadi-model/.
Menurut Ahok, pelayanan Ketuk Pintu dan Ketuk Pintu Dinas Kesehatan DKI ke pemukiman padat penduduk selama ini telah cukup baik memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi warga. Bisa dibilang pelayanan publik dan kesehatan di Jakarta sudah 70 persen baik. "Saya kira warga DKI sekarang puas 70 persen dengan pelayanan kita‎. Ini akan terus kita kejar sampai 90 persen. Ekonomi sedang begitu susah, kesehatan dan pelayanan tidak boleh diabaikan," tegasnya http://ahok.org/berita/news/327-pejabat-eselon-dilantik/.

.
Referensi :
Anderson, R., Barbara, A. & Feldman, S., 2007. What patients want: A content analysis of key qualities that influence patient satisfaction. The Journal of medical practice management : MPM, 22(5), pp.255–61. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17494478.
Anderson, R.T., Camacho, F.T. & Balkrishnan, R., 2007. Willing to wait?: the influence of patient wait time on satisfaction with primary care. BMC health services research, 7, p.31.
Hart, M., 1995. Improving out-patient clinic waiting times: methodological and substantive issues. International journal of health care quality assurance, 8(6), pp.14–22.
Jan, S. et al., 2005. Dual job holding by public sector health professionals in highly resource-constrained settings: Problem or solution? Bulletin of the World Health Organization, 83(10), pp.771–776.
Khim, K. & Annear, P.L., 2013. Strengthening district health service management and delivery through internal contracting: Lessons from pilot projects in Cambodia. Social Science and Medicine, 96, pp.241–249.
Leino-Kilpi, H. & Vuorenheimo, J., 1988. Patient satisfaction as an indicator of the quality of nursing care. Vard i Norden, 12(3-4), pp.22–28, 62.
Marrakchi, M.D. et al., 2009. Development of a Tunisian Measurement Scale for Patient Satisfaction : Study case in Tunisian Private Clinics. International Journal of Human and Social Science, 4(8), pp.565–573.
Newsome, P.R.H. & Wright, G.H., 1999. A review of patient satisfaction: 1. Concepts of satisfaction. British dental journal, 186(4 Spec No), pp.161–165.
Peck, B.M. et al., 2004. Do unmet expectations for specific tests, referrals, and new medications reduce patients' satisfaction? Journal of General Internal Medicine, 19(11), pp.1080–1087. Available at: http://link.springer.com/10.1111/j.1525-1497.2004.30436.x.
Soeters, R. et al., 2003. Improving government health services through contract management: a case from Cambodia. Health Policy and Planning, 18(1), pp.74–83. Available at: Improving government health services Cambodia contracting.
Soeters, R. et al., 2011. Performance-based financing experiment improved health care in the Democratic Republic of Congo. Health Affairs, 30(8), pp.1518–1527.
Zemencuk, J.K. et al., 1999. Patients' Desires and Expectations for Medical Care: A Challenge to Improving Patient Satisfaction. American Journal of Medical Quality, 14(1), pp.21–27. Available at: http://deepblue.lib.umich.edu/handle/2027.42/67026.
http://sulpaonline.com/read/2014/06/25/pasien-keluhkan-puskesmas-hom-hom/ diakses pada Sabtu 24 Oktober 2015 Jam 22.07 WIB
http://ahok.org/berita/news/mekanisme-lelang-jabatan-diubah/ diakses pada Sabtu 24 Oktober 2015 Jam 22.41 WIB
http://ahok.org/berita/news/327-pejabat-eselon-dilantik/. diakses pada Sabtu 24 Oktober 2015 Jam 23.02 WIB


--
Eko Sriyanto
Health Policy and Management
Gadjah Mada University

Yogyakarta, Indonesia

17 comments:

Susilaningsih said...

Saya tertarik dg ulasan anda ttg kepastian kontrak kerja..n kepuasan pasien,pateint center care,waktu konsul dg dokter yg terbatas.Tetapi realita ,ketersediaan dokter di Puskesmas masih kurang dg jumlah kunjungan yang meningkat dg adanya BPJS.bagaimana kalau kita sebagai manager u menyiasati hal tsb.Menurut saya,apabila kepala puskesmas juga seorang dokter,bisa ikut terjun di poliklinik u atasi crowded .tetapi tdk bs dilakukan apabila manager bkn seorang dokter(pengalaman pribadi sewaktu mjd kapusk)..Tk.

Unknown said...

Mksih bu Susi atensinya...,
-pertama topik editorial tersebut saya khususkan untuk puskesmas kota yang memiliki 4 hingga 6 dokter umum (kondisi di kota saya,Banjarbaru). juga daerah seperti DKI Jakarta. Untuk daerah terpencil tentu tidak berlaku.
-Kemudian yang perlu disoroti bahwa untuk meningkatkan kepuasan pasien puskesmas kita juga tidak bisa menyalahkan dokter karena jumlah poli umum di kota dan di daerah terpencil sama(hanya 1 lokal),seyogyanya untuk kunjungan yang jauh lebih besar di puskesmas perkotaaan perlu disesuaikan jumlah lokal polikliniknya sehingga tidak menjadi alasan kurangnya sarana dan waktu konsultasi pasien dengan dokter , tentunya untuk mengubah hal tersebut diperlukan komitmen bersama dari kepala puskesmas,kepala dinas dan pemerintah kota serta organisasi profesi(dokter/IDI) guna perbaikan pelayanan dan eksistensi Puskesmas sebagai primary health care yang betorientasi patient-centered bagi pasien miskin di perkotaan,
Mksh

Unknown said...

Saya tertarik dengan penelitian yang selama ini ditempuh. Untuk ketidakpuasan waktu tunggu di puskesmas, bagian pendaftaran terjadi sangat banyak. Sementara keluhan waktu tunggu untuk hasil laboratorium, menunggu layanan dokter ataupun pengambilan obat(farmasi), jarang mendapatkan keluhan yang tajam. Ruang tunggu atau pun tempat duduk yang digunakan, tidak jarang berada di tempat yang sama. Pertanyaan pertama saya, adakah hubungan tingkat profesionalisme tenaga kerja bagian pendaftaran, lab dan farmasi, seperti apa kriteria tenaga kesehatan yang seharusnya ditempatkan di pendaftaran tersebut? Atau kah kontrakting 'programmer' yang diperlukan untuk mempercepat proses pendaftaran tersebut, agar sepertinya tidak hanya dokter yang menjadi tokoh utama, tetapi suatu keseluruhan sistem faskes itu agar tercapai kepuasan pasien di semua bagian dan dapat diterapkan untuk daerah yang dokternya sedikit..... Pertanyaan keduanya adalah tempat menunggu pasien. Adakah kebijakan kepala puskesmas mengenai tata ruang, agar pasien tidak terlihat bertumpuk di satu lokasi tunggu saja? Makasih pak Eko...

Unknown said...

Terimakasih bu Def...
Klarifikasi, bahwa yang sy tulis belum merupakan sebuah penelitian, baru editorial bu...hehe

Kemudian, sebagai tanggapan saya terhadap pertanyaan pertama bu Deffi :
- Sudah barang tentu keprofesionalan sangat diperlukan di semua lini pelayanan puskesmas, tidak terkecuali bagian pendaftaran, lab dan farmasi, namun paling tidak mengikuti standar di negara kita seperti yang ada di pedoman akreditasi puskesmas misalnya,...saya kesulitan dalam mencari bahan yang menerangkan standar yang mencakup keseluruhan lini tersebut, oleh karena itu saya menfokuskan pengamatan pelayanan di ruang tunggu dan ruang konsultasi dokter, karena hal tersebut hal yang paling dirasakan masyarakat dalam layanan pengobatan penyakit ringan di puskesmas, namun jika bu Def ingin melihat gambaran kriteria tersebut dapat melihat di bahan kuliah blok III, seperti ada di link berikut : https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&ved=0CDUQFjADahUKEwjt56-rt9_IAhXCF5QKHZVcA3Y&url=http%3A%2F%2Fhpm.fk.ugm.ac.id%2Fhpmlama%2Fimages%2FBlok_III%2FSesi_10%2C_11%2C_15A_Blok_III.pdf&usg=AFQjCNFduxLhbuY-Frd0zH4RZBqPmrgvtw&cad=rja
- Kemudian, teknis dan program/aplikasi dalam proses pendaftaran itu menurut saya hanya merupakan “tools” guna pelayanan pendaftaran, tinggal manajerial puskesmas saja yang menentukan tools yang tepat dan sesuai dengan kondisi dan jumlah kunjungan dan ketersediaan tenaga administrasi pendaftaran di puskesmas.
- Untuk Dokter sebagai tokoh utama disini saya tidak berani pendapat untuk mengubah peran dokter sebagai tokoh utama, dan hingga saat ini perannya tidak tergantikan karena ilmu dan wewenang medis yang melekat pada profesi tersebut, hingga banyak opini dan sugesti di masyarakat “ asal ketemu bu dokter maka saya akan sembuh “,.nah dibeberapa penelitian untuk kepuasan pasien diperlukan 5 menit atau lebih waktu konsultasinya bu Def ..bisa dilihat Anderson, R.T., Camacho, F.T. & Balkrishnan, R., 2007. Willing to wait?: the influence of patient wait time on satisfaction with primary care. BMC health services research, 7, p.31.
- Untuk didaerah yang dokternya sedikit namun kunjungan pasien banyak tentunya diperlukan komitmen dan terobosan kebijakan baru dari pemerintah khususnya Dinas Kesehatan didaerah tersebut, misalnya pusling atau kunjungan tim dokter di hari-hari tertentu yang terjadwal, sehingga pasien yang banyak tersebut bisa datang pada hari2 yang telah dijadwalkan tersebut, sambil peninjauan kembali dan implementasi terhadap sebaran SDM kesehatan (khususnya dokter) di daerah tersebut.

Unknown said...

2. Tanggapan pertanyaan kedua bu Deffi :
- Bangunan fisik puskesmas juga harus diperhatikan, tentunya yang mememenuhi unsur kenyamanan bagi pasien, oleh karena itu saya mengusung keyword patien-centered di editorial saya, karena kebanyakan konsultan pembangunan pada proses pengadaan bangunan puskesmas kurang berorientasi patien-centered ditambah kurangnya pemahaman dan semangat melayani dari semua lini di puskesmas yang seharusnya bisa memberi masukan bagi konsultan tersebut, jika semangat melayani berorientasi patient-centered telah menjadi hobi/ “life style” pelayanan maka kita tidak akan bosan dan akan terus bersemangat, hal tersebutlah yang harus kembali dihidupkan yang dimulai dari komitmen pemimpin di daerah hingga tingkat puskesmas beserta semua lini pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin.
- Jadi tinggal disesuaikan saja apakah ruang tunggu diperluas, bangunan puskesmas dibuat bertingkat atau jika tidak memungkinkan dapat pula direlokasi, sekali lagi disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dan kondisi pelayanan di lokasi puskesmas tersebut yang penting tidak meninggalkan unsur kenyamanan bagi orang yang sedang menunggu sesuatu (pelayanan kesehatan).

Demikian, sekali lagi terimakasih atas atensi bu Deffi ...

Unknown said...

Okey pak Eko, terima kasih atas jawabannya, mengenai 'tools' yang disesuaikan dengan kondisi daerah, dan masukan buat design puskesmas. Dan smoga gek lekas jadi penelitian maksudnya,hehe..amin..

Unknown said...

Mksh bu ..., semoga kita semua bisa menyelesaikan tepat waktu,amiin

Widhi Kartika said...

BicKonsultasi dokter yang terlalu sebentar, penjelasan penggunaan obat yang kurang, pelayanan yang diskriminatif, hingga masalah pembiayaan pelayanan kesehatannya", apakah deretan permasalahan tersebut biang keroknya semata-mata karena ketidakpastian kontrak kerja dokter di puskesmas?
Bicara mengenai waktu tunggu tentu berkaitan dengan lama waktu konsultasi dokter. Dalam situasi jumlah kunjungan yang sangat tinggi, Puskesmas ditantang untuk tetap meberikan pelayanan kelas bintang lima. Saya rasa kepastian kontrak kerja saja tidak serta merta menyelesaikan persoalan yang ada. Kita tidak boleh abai dengan pengelolaan 'M' yang lain. Di beberapa klinik swata, mereka membatasi jumlah pasien dengan tujuan optimalisasi pelayanan konsultasi. Itu hanya salah satu contoh desain dalam M yang lain (methode). Lalu bagaimana dengan puskesmas dengan segala tantangannya?

Widhi Kartika said...

BicKonsultasi dokter yang terlalu sebentar, penjelasan penggunaan obat yang kurang, pelayanan yang diskriminatif, hingga masalah pembiayaan pelayanan kesehatannya", apakah deretan permasalahan tersebut biang keroknya semata-mata karena ketidakpastian kontrak kerja dokter di puskesmas?
Bicara mengenai waktu tunggu tentu berkaitan dengan lama waktu konsultasi dokter. Dalam situasi jumlah kunjungan yang sangat tinggi, Puskesmas ditantang untuk tetap meberikan pelayanan kelas bintang lima. Saya rasa kepastian kontrak kerja saja tidak serta merta menyelesaikan persoalan yang ada. Kita tidak boleh abai dengan pengelolaan 'M' yang lain. Di beberapa klinik swata, mereka membatasi jumlah pasien dengan tujuan optimalisasi pelayanan konsultasi. Itu hanya salah satu contoh desain dalam M yang lain (methode). Lalu bagaimana dengan puskesmas dengan segala tantangannya?

Unknown said...

Setiap program dan kegiatan yang diselenggarakan pasti tidak sempurna dan pasti memiliki kekurangan. Dalam editorial penulis tidak pernah menyebutkan deretan permasalahan tersebut semata disebabkan oleh ketidakpastian kontrak kerja dokter. Editorial ini berusaha mengangkat isu utama yang sering menjadi penyebab ketidakpuasan pasien terhadap kualitas pelayanan disamping penyebab2 lain berdasarkan hasil penelitian dari peneliti2 terdahulu seperti Zamencuk dkk 1999, Anderson dkk 2007 dan Marrakchi dkk 2009, dimana hal tersebut sangat jelas terjadi di puskesmas perkotaan di negara kita yang membiarkan poli umum puskesmas hanya satu lokal dipaksa untuk melayani pengunjung yang berjumlah sangat banyak,sehingga dokter bekerja dengan sistem piket. Artinya kita memakai standar yang sama antara puskesmas kota dan desa yang secara jelas pula berbeda karakteristik. Yang dimaksud kepastian kontrak kerja dokter disini adalah dokumen resmi tertulis yang memuat rincian pekerjaan yang harus dilakukan oleh dokter dan yang tidak boleh dilakukannya ditambah kejelasan upah yang diterima ( Tunjangan Kinerja) serta punisment jika target kinerja tidak tercapai,dimana hal tersebut telah dilaksanakan di Jakarta sebagai salah satu cara memeperbaiki kondisi pelayanan. Alasan pengutamaan profesi dokter pada editorial diatas adalah karena anggapan dimasyarakat miskin terutama mencari kesembuhan dari sakitnya dan profesi yang paling mereka harapkan memberi pelayanan pengobatan adalah dokter. Dipersilahkan rekan-rekan penulis jika ingin mengangkat isu pelayanan dari profesi lain.

Unknown said...

Bicara mengenai waktu tunggu, dari hasil penelitian Anderson 2007 menunjukan bahwa kedua hal tersebut bisa secara terpisah mempengaruhi tingkat kepuasan pasien, lama waktu tunggu dan lama konsultasi dapat bersama2 mempengaruhi kepuasan, namun disisi lain ada pasien yang menyatakan lama waktu tunggu dapat tergantikan dengan lamanya waktu konsultasi artinya ia tetap merasa puas walaupun menunggu lama asal waktu konsultasi dengan dokter cukup.
Memang betul, kepastian kontrak kerja tidak dapat menyelesaikan semua masalah, ia hanya merupakan salah satu "tool" kebijakan yang berfokus pada perbaikan kinerja, jadi spesifik pemecahan suatu masalah juga spesifik untuk mengatasi suatu penyebab masalah, tidak bisa kita menggunakan satu solusi untuk mengatasi semua masalah. Mengenai kebijakan manajemen puskesmas dan klinik swasta pastilah kita tidak bisa membandingkannya karena merupakan lembaga profit dan non profit..
Demikian, makasih atensinya mba Widhi manis...

Widhi Kartika said...

Saya berterimakasih atas jawaban dari pak Eko. Editorial ini memang tidak menyebutkan bahwa ketidakpastian kontrak kerja menjadi satu-satunya penyebab masalah yang ada. Saya ingin menanyakan mengapa berbagai masalah yang ada dijawab dengan kepastian kontrak kerja dokter? Apakah penulis tidak mempertimbangkan penyebab yang lain seperti yang saya sebutkan sebelumnya, contohnya desain methode pelayanan dengan mengatur waktu tunggu dan lama waktu konsultasi?

Yang kedua, saya sangat tertarik dengan pernyataan berikut:
"Mengenai kebijakan manajemen puskesmas dan klinik swasta pastilah kita tidak bisa membandingkannya karena merupakan lembaga profit dan non profit."
Mengenai kebijakan manajemen puskesmas dan klinik swasta pastilah kita tidak bisa membandingkannya karena merupakan lembaga profit dan non profit."
Mengapa tidak bisa? Dalam tulisan di atas penulis menyatakan bahwa puskesmas dituntut untuk memberikan pelayanan kelas bintang lima. Itu merupakan pernyataan yang sangat bagus menurut saya, sehingga ke depannya puskesmas tidak hanya melayani masyarakat yang tidak punya pilihan lain selain ke puskesmas, dengan kata lain puskesmas mampu bersaing dengan klinik swasta dalam memberikan pelayanan yang diharapkan masyarakat. Jika pelayanan puskesmas mampu bersaing dengan klinik swasta, nantinya masyarakat yang mampu membeli pelayanan kesehatan akan memilih puskesmas.

Terimakasih

Widhi Kartika said...

Saya berterimakasih atas jawaban dari pak Eko. Editorial ini memang tidak menyebutkan bahwa ketidakpastian kontrak kerja menjadi satu-satunya penyebab masalah yang ada. Saya ingin menanyakan mengapa berbagai masalah yang ada dijawab dengan kepastian kontrak kerja dokter? Apakah penulis tidak mempertimbangkan penyebab yang lain seperti yang saya sebutkan sebelumnya, contohnya desain methode pelayanan dengan mengatur waktu tunggu dan lama waktu konsultasi?

Yang kedua, saya sangat tertarik dengan pernyataan berikut:
"Mengenai kebijakan manajemen puskesmas dan klinik swasta pastilah kita tidak bisa membandingkannya karena merupakan lembaga profit dan non profit."
Mengenai kebijakan manajemen puskesmas dan klinik swasta pastilah kita tidak bisa membandingkannya karena merupakan lembaga profit dan non profit."
Mengapa tidak bisa? Dalam tulisan di atas penulis menyatakan bahwa puskesmas dituntut untuk memberikan pelayanan kelas bintang lima. Itu merupakan pernyataan yang sangat bagus menurut saya, sehingga ke depannya puskesmas tidak hanya melayani masyarakat yang tidak punya pilihan lain selain ke puskesmas, dengan kata lain puskesmas mampu bersaing dengan klinik swasta dalam memberikan pelayanan yang diharapkan masyarakat. Jika pelayanan puskesmas mampu bersaing dengan klinik swasta, nantinya masyarakat yang mampu membeli pelayanan kesehatan akan memilih puskesmas.

Terimakasih

Widhi Kartika said...

Saya berterimakasih atas jawaban dari pak Eko. Editorial ini memang tidak menyebutkan bahwa ketidakpastian kontrak kerja menjadi satu-satunya penyebab masalah yang ada. Saya ingin menanyakan mengapa berbagai masalah yang ada dijawab dengan kepastian kontrak kerja dokter? Apakah penulis tidak mempertimbangkan penyebab yang lain seperti yang saya sebutkan sebelumnya, contohnya desain methode pelayanan dengan mengatur waktu tunggu dan lama waktu konsultasi?

Yang kedua, saya sangat tertarik dengan pernyataan berikut:
"Mengenai kebijakan manajemen puskesmas dan klinik swasta pastilah kita tidak bisa membandingkannya karena merupakan lembaga profit dan non profit."
Mengenai kebijakan manajemen puskesmas dan klinik swasta pastilah kita tidak bisa membandingkannya karena merupakan lembaga profit dan non profit."
Mengapa tidak bisa? Dalam tulisan di atas penulis menyatakan bahwa puskesmas dituntut untuk memberikan pelayanan kelas bintang lima. Itu merupakan pernyataan yang sangat bagus menurut saya, sehingga ke depannya puskesmas tidak hanya melayani masyarakat yang tidak punya pilihan lain selain ke puskesmas, dengan kata lain puskesmas mampu bersaing dengan klinik swasta dalam memberikan pelayanan yang diharapkan masyarakat. Jika pelayanan puskesmas mampu bersaing dengan klinik swasta, nantinya masyarakat yang mampu membeli pelayanan kesehatan akan memilih puskesmas.

Terimakasih

Unknown said...

1. Ini hanya masalah fokus yang ingin saya angkat, dan argumen yang coba saya usulkan dan telah dicontohkan diterapkan di suatu daerah( DKI Jakarta)jika ada penulis lain yang ingin mengangkat fokus yang lain saya persilahkan,jadi bukan bermaksud tidak mempertimbangkan, atau bisa djuga dikembangkan menjadi sebuah paper yang agak besar..
2. Yang tidak bisa dibandingkan itu maksud saya adalah menanggapi pernyataan sebelumnya mba widhi "dimana klinik swasta membatasi jumlah pasien" kita tidak bisa melakukan itu di puskesmas, sama sekali tidak diluar konteks pertanyaan mba widhi tersebut. Jika kualitas yang dibahas disini ahok memang menyatakan pernyataan tersebut guna memacu semangat pelayanan bagi bawahannya.

Widhi Kartika said...

Jika pak eko memahami gagasan saya secara tekstual (bukan konteks), pemahaman pak eko hanya sebatas kalimat yang saya sampaikan (membatasi jumlah pasien yang diterapkan oleh beberapa klinik swasta), namun jika pernyataan saya dipahami secara kontekstual maka akan dipahami jika saya sedang membahas mengenai desain pengelolaan waktu tunggu dan lama waktu konsultasi. Di akhir komentar saya menanyakan "bagaimana dengan puskesmas?" Artinya saya menantang penulis bagaimana mengelola waktu tunggu dan lama waktu konsultasi yang bisa diterapkan di puskesmas (bukan menjiplak ide membatasi jumlah pasien). Mungkin pak eko bisa lebih memahami gagasan saya melalui diskusi saya dengan pak Mub di bagian yg lain dr blog ini.

Terimakasih

Unknown said...

Justru itu mba wid, untuk sementara usaha untuk mengelola waktu tunggu dan lama waktu konsultasi belum secara nyata dilaksanakan dan menjadi perhatian khususnya di negara kita, Editorial ini hanya ingin mengangkat isu tersebut supaya menjadi perhatian, dan dapat kita fikirkan bersama solusinya sebagai insan manajemen kesehatan masyarakat, saya tidak berani menyatakan mana metode terbaik karena belum menemukan contoh konkret daerah yang melaksanakan dan membuktikan secara statistik bahwa upaya tersebut berhasil, DKI Jakarta pun baru ingin saya llihat dan pelajari usaha penanganannya karena belum secara langsung saya lihat,baru dari web seperti tulisan diatas,tentu saya tidak berani memastikan metode terbaik karena belum melakukan penelitian untuk itu atau menemukan penelitian sejenis di Indonesia. Sepertinya suatu topik menarik jika ada rekan peneliti lain yang ingin menelitinya.Sekali lagi, editorial ini baru merupakan suatu proses pembelajaran, dengan batasan 500 kata,mungkin dengan pengembangan berikutnya bisa memuat desain2 lain untuk menanggulangi masalah tersebut. Mungkin mba wid tertarik untuk mengembangkannya, sepertinya mba wid sangat tertarik dengan editorial ini, hingga kurang mengomentari editorial teman2 yang lain..hehe..saya persilahkan.terimakasih